Infodigital.co.id

Ekosistem Digital Ramah Anak RI Ditawarkan di Asia-Pasifik

Meutya Hafid (depan paling kanan) di Tokyo, Jepang. (Dok Kemkomdigi)

Jakarta, ID – Negara Indonesia (RI), melalui Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid, menawarkan model ekosistem digital ramah dan aman untuk anak di pertemuan 2025 di forum Asia-Pasifik di Tokyo, Jepang.   

Di hadapan para menteri dan pejabat tinggi dari kawasan Asia-Pasifik, Meutya menegaskan bahwa transformasi digital Indonesia tidak bisa hanya sekadar mengejar kecepatan dan memperluas jangkauan.

Ekosistem digital di Tanah Air juga memperhatikan generasi muda, utamanya anak-anak. Pemerintah Indonesia pun telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Pelindungan Anak atau PP Tunas.

Dalam Pertemuan Tingkat Menteri Asia-Pacific Telecommunity (APT) 2025 di Tokyo, Menkomdigi menyampaikan pendekatan Indonesia yang menggabungkan infrastruktur digital inklusif dengan regulasi perlindungan anak yang ketat.

“Dengan visi Indonesia Digital 2045 dan regulasi terobosan yang melindungi anak dari risiko digital, Indonesia mengajak seluruh negara di kawasan untuk bergandengan tangan membangun ekosistem digital Asia-Pasifik yang berkeadilan dan berkelanjutan,” ungkap Meutya Hafid, saat berbicara dalam APT Ministerial Meeting Panel A – Sustainable Digital Infrastructure and Accessibility di Tokyo, dikutip InfoDigital.co.id, Senin (2/6/2025).

Dalam paparannya, dia pun menyoroti sejumlah capaian kunci Indonesia sepanjang 2024, termasuk peningkatan penetrasi internet nasional yang telah mencapai 79,5% terhadap  populasi.

Pencapaian tersebut antara lain didukung oleh proyek strategis seperti jaringan tulang punggung Palapa Ring yang kini menjangkau lebih dari 500 kabupaten/kota.

Kemudian, peluncuran satelit Satria-1 untuk memperkuat konektivitas di wilayah terpencil serta program menara base transceiver station (BTS) 4G nasional yang menyasar daerah terluar, tertinggal, dan perbatasan.

Namun, menurut Meutya, perluasan infrastruktur hanyalah fondasi awal. “Konektivitas saja tidak cukup. Kita perlu memastikan bahwa dunia digital yang kita bangun aman dan ramah bagi semua, terutama anak-anak sebagai kelompok paling rentan,” tegasnya.

PP Tunas

Sebagai upaya konkret, Indonesia pun telah menerbitkan dan memperkenalkan PP Tunas, regulasi komprehensif pertama di Indonesia yang mengatur perlindungan anak di ruang digital. Regulasi ini mengedepankan prinsip child-first melalui sejumlah kebijakan progresif:

PP itu mengatur pembatasan akses berbasis usia dan risiko platform digital, pelarangan profilisasi data anak untuk tujuan komersial,
kewajiban literasi digital bagi penyelenggara sistem elektronik (PSE), dan sanksi tegas terhadap pelanggaran regulasi.

“Anak di bawah usia 13 tahun hanya dapat mengakses platform digital ramah anak dengan risiko rendah dan harus disertai persetujuan orang tua. Sementara itu, platform dengan interaksi terbuka atau monetisasi agresif hanya boleh diakses mulai usia 16 tahun, juga dengan persetujuan aktif orang tua,” imbuhnya.

Lebih jauh, Pemerintah Indonesia juga mengedepankan pendekatan lintas sektor melalui kolaborasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Kementerian Dalam Negeri, BKKBN, dan Kementerian Agama dalam memperluas gerakan literasi digital nasional.

Selain PP Tunas, Indonesia telah mengesahkan dua instrumen hukum penting untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap ruang digital, yakni Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU No 27/2022) serta pembaruan atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No 11/2008 jo UU No 1/2024).

“Mari kita melangkah bersama menuju masa depan digital Asia-Pasifik yang aman, adil, dan memberdayakan, terutama bagi generasi penerus yang akan mewarisi ruang digital ini,” pungkas Meutya Hafid. (dmm)

Komentar

Iklan